Banda Aceh, 31 Juli 2015
Hai kamu, iya kamu yang entah sedang apa di sana.
Kamu seseorang yang spesial, semoga disegerakan ya.
Siapapun kamu, dari latar belakang apapun kamu, dari keluarga apapun kamu saya tidak peduli.
Semoga kamu menjadi orang yang sangat saya rindukan saat saya jauh untuk segera pulang.
Saya ingin bercerita dengan kamu.
Kamu bukanlah wanita yang kelak menjadi wanita yang sangat saya cintai.
Kamu kelak bukanlah wanita yang sangat teramat spesial dalam hidup saya.
Betapapun kamu perlakukan saya dengan sangat baik, tetap saja kamu bukan wanita yang utama buat saya.
Saya hanya ingin bilang, wanita yang sangat amat saya cintai adalah ibu saya.
Jika pun nanti jika Allah menggariskan jodoh buat kita, saya akan mengajukan syarat yang wajib kamu penuhi. Jika kamu tidak setuju, silahkan mundur.
Syarat itu adalah kamu harus menyayangi ibu saya lebih dari apa yang akan kamu berikan kepada saya.
Taukah kamu pengorbanan ibu saya kepada saya dan saudara-saudara saya saat saya kecil dulu ?
Saya ingin sedikit bercerita dengan kamu. Dulu, saat saya masih sangat kecil kami hidup di kampung yang sangat dalam dan terisolir. Nama kampungnya Aek Toras, di pedalaman Tapanuli Selatan, Propinsi Sumatera Utara. Kami orang perantaun. Ibu saya melakukan apapun buat kami agar 'bisa makan'. Saat saya berumur 1 tahun ibu ke sawah orang, menderes rambung orang sedang saya digendongnya. Jika kami berdua, ibu sering bercerita tentang kenangannya di kampung dahulu. Semakin ibu cerita, saya nyesak, saya nangis, saya tidak bisa membayangkan betapa pedihnya kehidupan dulu. Dan akhirnya ibu nekad untuk merantau ke Aceh untuk merubah segalanya. Alhamdulillah, Allah beri jalan. Namun saat pertama kali kami di sini, jalan kami tidak mulus, banyak rintangan dan cacian orang-orang, bahkan cacian itu datang dari saudara saya sendiri (hidupnya sudah 'bagus'). Setelah berjuang selama 10 tahun lebih, alhamdulillah hidup kami mulai berubah, dan ibu mampu menyekolahkan saya dan saudara-saudara saya sampai ke jenjang perguruan tinggi. Ini hanya sebagian kecil kisah yang saya simpan di hati, dan kelak akan saya ceritakan kepada anak-anak saya.
Kamu tahu, wanita ini telah mengandung, melahirkan, menyapih, mendidik, menyekolahkan, mendo'akan sampai saya seperti sekarang.
Satu hal yang jangan pernah kamu lakukan, jangan pernah membandingkan dirimu dengan ibu saya. Kelak kamu akan menyesal. Saya sangat mencintai ibu saya dari apapun.
Ibuku, sosok dibelakang layar yang perannya tak tergantikan. Engkaulah wanita yang sangat saya cintai. Engkau pintu surga saya. Engkaulah yang ingin selalu saya jumpai di saat saya jauh di perantauan.
Anak Perantau
Amiruddin Simbolon
Hai kamu, iya kamu yang entah sedang apa di sana.
Kamu seseorang yang spesial, semoga disegerakan ya.
Siapapun kamu, dari latar belakang apapun kamu, dari keluarga apapun kamu saya tidak peduli.
Semoga kamu menjadi orang yang sangat saya rindukan saat saya jauh untuk segera pulang.
Saya ingin bercerita dengan kamu.
Kamu bukanlah wanita yang kelak menjadi wanita yang sangat saya cintai.
Kamu kelak bukanlah wanita yang sangat teramat spesial dalam hidup saya.
Betapapun kamu perlakukan saya dengan sangat baik, tetap saja kamu bukan wanita yang utama buat saya.
Saya hanya ingin bilang, wanita yang sangat amat saya cintai adalah ibu saya.
Jika pun nanti jika Allah menggariskan jodoh buat kita, saya akan mengajukan syarat yang wajib kamu penuhi. Jika kamu tidak setuju, silahkan mundur.
Syarat itu adalah kamu harus menyayangi ibu saya lebih dari apa yang akan kamu berikan kepada saya.
Taukah kamu pengorbanan ibu saya kepada saya dan saudara-saudara saya saat saya kecil dulu ?
Saya ingin sedikit bercerita dengan kamu. Dulu, saat saya masih sangat kecil kami hidup di kampung yang sangat dalam dan terisolir. Nama kampungnya Aek Toras, di pedalaman Tapanuli Selatan, Propinsi Sumatera Utara. Kami orang perantaun. Ibu saya melakukan apapun buat kami agar 'bisa makan'. Saat saya berumur 1 tahun ibu ke sawah orang, menderes rambung orang sedang saya digendongnya. Jika kami berdua, ibu sering bercerita tentang kenangannya di kampung dahulu. Semakin ibu cerita, saya nyesak, saya nangis, saya tidak bisa membayangkan betapa pedihnya kehidupan dulu. Dan akhirnya ibu nekad untuk merantau ke Aceh untuk merubah segalanya. Alhamdulillah, Allah beri jalan. Namun saat pertama kali kami di sini, jalan kami tidak mulus, banyak rintangan dan cacian orang-orang, bahkan cacian itu datang dari saudara saya sendiri (hidupnya sudah 'bagus'). Setelah berjuang selama 10 tahun lebih, alhamdulillah hidup kami mulai berubah, dan ibu mampu menyekolahkan saya dan saudara-saudara saya sampai ke jenjang perguruan tinggi. Ini hanya sebagian kecil kisah yang saya simpan di hati, dan kelak akan saya ceritakan kepada anak-anak saya.
Kamu tahu, wanita ini telah mengandung, melahirkan, menyapih, mendidik, menyekolahkan, mendo'akan sampai saya seperti sekarang.
Satu hal yang jangan pernah kamu lakukan, jangan pernah membandingkan dirimu dengan ibu saya. Kelak kamu akan menyesal. Saya sangat mencintai ibu saya dari apapun.
Ibuku, sosok dibelakang layar yang perannya tak tergantikan. Engkaulah wanita yang sangat saya cintai. Engkau pintu surga saya. Engkaulah yang ingin selalu saya jumpai di saat saya jauh di perantauan.
Saat Idul Fitri 1435 H / Tahun 2014 |
Saat saya Wisuda |
Ibuku, pintu surgaku |
Hasil didikan Ibu |
Saat saya Wisuda tahun 2012 |
Jalan-jalan di Pantai Lampuuk Maret 2015 |
Pintu Surgaku |
Hasil didikan Ibu, sudah mampu 'berdiri' |
Saya dan ibu saya, Idul Fitri 1435 H |
Anak Perantau
Amiruddin Simbolon